BOGOR, VISINEWS.Net – Tepat Hari ini, 4 Desember sekitar 136 tahun yang lalu seorang pahlawan perempuan lahir di jawa barat. Perempuan itu adalah Dewi Sartika.
Perempuan yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1966 ini telah berkiprah dalam dunia pendidikan sejak muda di Bandung.
Sekolah rintisannya, bernama Sakola Istri, adalah sekolah khusus perempuan bumiputra pertama di Hindia Belanda.
Seorang perempuan muda menjadi salah satu kontributor untuk suatu komisi tentang perbaikan derajat perempuan pada 1912.
Melalui esainya, ia mengkritik kolotnya pandangan kaum feodal Sunda terhadap perempuan. Ia juga menyinggung pendidikan bagi perempuan. Beliau menerabas adat priyayi yang kaku pada awal abad ke-20 dan menetapkan sekolah bagi kaum perempuan.
“Maka sangat penting memberikan pelatihan kepada bidan, perempuan yang bekerja di kantor, juru ketik, pembantu rumah tangga, pekerja perkebunan, dan lain-lain. Kita tidak boleh lupa bahwa di luar sana masih banyak perempuan yang harus mengisi ‘bakul nasi’ mereka dengan bekerja di pabrik atau perkebunan padahal mereka belum diberikan pelatihan yang memadai, “tulis perempuan itu yang dikutip Cora Vreede-De Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian (2017: 70).
Biografi Singkat
Raden Dewi Sartika lahir di Cicalengka, Bandung, 4 Desember 1884. Beliau wafat di Cineam, Tasikmalaya, 11 September 1947 pada umur 62 tahun.
Dewi Sartika adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita. Ia diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1966.
Ayahnya, Raden Rangga Somanagara, adalah Patih Bandung. Ibunya, Rajapermas, adalah putri Bupati Bandung saat itu, RAA Wiranatakusumah IV.
Status Uwi — nama kecil Dewi Sartika — muncul piyayi tinggi di kalangan menak Sunda.
Somanagara termasuk pula priyayi yang maju untuk ukuran saat itu. Ia termasuk golongan priyayi yang paling awal menyekolahkan putra-putrinya, termasuk Uwi. Padahal di masa itu menyekolahkan anak — terlebih dahulu anak perempuan — adalah preseden baru dalam adat menak Sunda (hlm. 55-57).
Kisah Masa Kecil
Ketika masih kanak-kanak, ia selalu bermain peran menjadi seorang guru ketika seusai sekolah bersama teman-temannya. Uwi hanya sempat bersekolah di Eerste Klasse School sampai kelas dua.
Pada Juli 1893, Raden Somanagara diasingkan ke Ternate oleh pemerintah kolonial. Ia dituduh terlibat dalam sabotase acara pacuan kuda di Tegallega untuk mencelakai bupati Bandung yang baru, RAA Martanegara.
Setelah ayahnya meninggal, ia tinggal bersama dengan pamannya. Sejak Uwi diasuh oleh pamannya dari pihak ibu, Ia menerima pendidikan yang sesuai dengan budaya Sunda oleh pamannya, meskipun sebelumnya ia sudah menerima pengetahuan mengenai budaya barat.
Pamannya seorang Patih Cicalengka bernama Raden Demang Suria Kartahadiningrat. Bapak orang tua itu dikenal seorang menak beradat luhur. Tak heran banyak keluarga menak Priangan yang menitip anaknya di rumah Suria Kartahadiningrat untuk belajar kehidupan kepriyayian.
Dalam tulisan Rochiati Wiriaatmadja tertulis “Di antara banyak pekerjaan yang harus dibutuhkan oleh Dewi Sartika adalah mengantar saudara-saudara sepupunya pergi ke rumah seorang nyonya Belanda untuk belajar bahasa Belanda dan menulis-membaca. Ia sendiri tidak diperbolehkan untuk ikut belajar “(hlm. 67-69).
Semangat Menciptakan perubahan
Uwi memang dibedakan, tetapi tak selalu jadi medioker. Ada kala ia melakukan pemberontakan-pemberontakan kecil. Uwi sering menjadi pembaca ketika gadis-gadis lain memperoleh surat cinta dari pemuda terpandang atau tunangan mereka. Mengingat hanya ia yang pernah mengenyam pendidikan dan bisa membaca.
Tetapi, dari kejadian itu Uwi menginsafi satu hal: keadaan kaumnya yang lemah lemah sosialnya karena kurangnya pengetahuan. Rumah Suria Kartahadiningrat adalah potret kecil kehidupan feodal Sunda.
Di kalangan priyayi, anak-anak laki-laki memperoleh pendidikan layak. Sementara perempuan teras cukup diajari keterampilan rumah tangga dan adat belaka.
Para gadis itu pada kenyataan hanya menuruti kemauan orangtuanya. Secara tradisional, perempuan cukup menghargai jaminan hidup dari harapan atau suaminya.
Uwi melihat hal ini pada ibunya, yang tak tergugah oleh gereja apa-apa untuk menyatukan keluarga yang pecah ketika diasingkan dan aset-asetnya disita pemerintah.
Perbaikan Pendidikan adalah Kunci
Di sinilah peran penting Dewi Sartika yang hampir sendirian menerabas ketatnya adat priyayi itu.
Pada 1902, ia memutuskan kembali ke Bandung saat ibunya, Rajapermas, pulang dari pengasingan. Dan lagi, kehidupan kolot di Cicalengka dipandangnya tak akan memberi kemajuan apa-apa untuk cita-citanya.
Pendidikan untuk anak perempuan di masa kolonial bukan tak ada, hanya sangat terbatas untuk bangsawan dan orang Eropa. Kekakuan adat juga masih jadi sela bagi orang tua menyekolahkan anak gadisnya.
Dewi Sartika kemudian memberanikan diri menghadapi Bupati Bandung Martanagara dan meminta izin untuk sekolah bagi gadis remaja.
Meski semula ragu, Bupati Martanagara akhirnya merestui, dan menyarankan agar sekolah itu dibuka pertama kali di pendopo Kabupaten Bandung. Dan demikianlah, pada 16 Januari 1904, Sakola Istri berdiri.
Saat itu usia Dewi Sartika masih 20 tahun. Ia turun tangan menjadi pengajar untuk angkatan pertama yang berisi dua kelas dengan 20 murid.
Kebanyakan murid-murid ini adalah anak-anak pegawai rendah Kabupaten Bandung.
Kurikulum sekolah itu, selain keterampilan rumah tangga, memberikan pelajaran agama dan bahasa Belanda. Pengajar-pengajarnya pun diusahakan dari kalangan profesional. Misalnya, pengampu pelajaran keperawatan adalah Zuster van Arkel dari Rumah Sakit Imanuel, Bandung.
Berkat kerja kerasnya, tak heran jika pemerintah kolonial memperhatikan pendapat-pendapat Dewi Sartika tentang perbaikan kondisi perempuan.
Mindere Welvaart Commitie salah satu dari sembilan narasumber untuk soal ini.
Pada 1914, ketika laporan komisi ini terbit, Dewi Sartika menekankan pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan. Ia memandang sudah terwujud pendidikan kejuruan untuk perempuan sebagai bekal mereka di dunia kerja.
Pantaslah jika kemudian Dewi Sartika diganjar medali Orde van Oranje-Nassau oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1939 pada ulang tahun ke-35 Sekolah Kaoetamaan Isteri sebagai penghargaan atas jasanya dalam memperjuangkan pendidikan.
4 Desember 2020
Anggota Komunitas Cinta Berkain Indonesia (KCBI) Cabang Bogor meletakkan bunga di depan lukisan pahlawan nasional Dewi Sartika di pedestrian Kapten Muslihat, Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (4/12/2020).
Aksi bunga yang bertepatan dengan 136 tahun Raden Dewi Sartika hadir di tanah Pasundan tersebut untuk mengenang jasa beliau yang telah berjuang membangun kesadaran melalui pendidikan agar mampu hidup bermartabat dan mandiri secara ekonomi.