Oleh: Heni Rustiani, M.Pd.
(Aktivis Perlindungan Anak)
Bullying atau dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai perundungan, merupakan persoalan serius pada anak-anak di hampir sebagian besar negara di dunia ini. Perundungan didefinisikan sebagai tindakan agresif yang dimaksudkan untuk menyakiti korban, baik secara fisik (misalkan, dengan memukul atau menendang), secara psikologis (misalkan, melalui ancaman ataupun memanggil dengan julukan yang buruk), maupun secara sosial (misalkan dengan mengucilkan atau mengabaikan korban), yang dilakukan secara sengaja, berulang, dan menunjukkan adanya perbedaan kekuatan antara pelaku dan korban (Olweus, 1997; Espelage & Swearer, 2003; Wang, Ianotti, & Nansel, 2009).
Bullying adalah perilaku kekerasan fisik ataupun mental yang dilakukan satu orang atau lebih dengan cara melakukan penyerangan atau mengintimidasi orang lain. Perilaku kekerasan ini biasa terjadi di lingkungan sekolah dan umumnya menimpa anak-anak atau remaja yang secara fisik lebih lemah dari teman-teman sebayanya.
Dalam banyak kasus, pelaku bullying umumnya mereka yang ingin menunjukkan eksistensi dirinya secara berlebihan. Dalam hal ini, permasalahan yang serius dari psikologi sosial para pelaku bullying adalah karena jika ada pembiaran dan seolah-olah tidak ditangani dengan tepat maka dampak dari perilaku mereka sangat mengganggu bahkan dapat membahayakan nyawa orang lain. Dan permasalahan serius lainnya adalah karena mereka memanfaatkan akun media sosial untuk menyerang personal seseorang secara terbuka dan keinginan untuk dilihat oleh publik secara umum. Jika demikian realitasnya, maka langkah preventif apa yang dapat kita lakukan dalam mencegah sekaligus menghilangkan benih kekerasan bullying dalam interaksi kehidupan kita sehari – hari?
Persoalan psikologi semacam bullying bukanlah suatu hal yang mudah jelas dilihat secara utuh dalam interaksi masyarakat. Permasalahan kebencian dan juga masalah ketidakmampuan menahan emosi jiwa bukan hal yang secara langsung dapat dengan mudah kita temukan gejalanya.
Selalu ada perlakuan bullying pada beberapa momentum. Terutama saat pelaksanaan masa orientasi siswa baru, ospek, atau pendidikan dan pelatihan yang dilakukan institusi pendidikan. Dalam kasus ini pelaku bullying biasanya yang merupakan senior atau kakak kelas. Alih-alih melatih mental “anak baru”, tindakan mereka justru seringkali membahayakan hingga merenggut nyawa korban.
Pelaku bullying selain menyerang secara fisik, yaitu berupa tendangan, pukulan, jambakan, tamparan, membotaki, mengeroyok, melakukan pemalakan, dan lain-lain, juga menyerang secara verbal misalnya berupa mencaci-maki, mengejek, memberi julukan yang tidak pantas, memanggil dengan nama orangtua, mencela, meledek, mengancam dan lain-lain. Dan dalam bentuk lain pelaku menyerang secara psikis misalnya dengan mendiamkan, mengucilkan, mencibir, menyebarkan gosip, mengajak orang lain untuk memusuhi dan lain-lain. Hal-hal yang demikian itu jelas adalah tindakan yang merugikan salah satu pihak, sangat mengganggu dan mengusik ranah hak asasi dan harga diri seseorang.
Contoh nyata dari kasus bullying verbal banyak sekali terjadi di sekolah, misalnya seorang peserta didik memanggil nama temannya dengan sebutan nama binatang atau benda yang mengarah pada ciri fisik anak, menjuluki temannya dengan label yang tidak pantas dan lain-lain. Perilaku seperti ini kerap dianggap sebuah kewajaran dalam tataran pergaulan anak-anak bahkan terkadang guru pun membiarkan kejadian tersebut. Bullying verbal juga terjadi bahkan lebih marak di media sosial, di dunia nyata, pembully-an bisa dilakukan berupa kekerasan fisik, seringkali didahului dengan bullying verbal di media social. Bullying semacam ini masuk kategori cyber bully yang terus mengalami peningkatan. Sebagai contoh, pada 2018 kasus cyber bully mengalami peningkatan menjadi 2016 kasus. (Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti kepada Liputan6.com, Jumat, 26 April 2019).
Bullying yang dibiarkan akan berdampak negatif baik terhadap pelaku maupun korban. Dampak negatif bullying pada korban di sekolah antara lain mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi minder, malas sekolah, sering sakit secara tiba-tiba, konsep diri negatif, menjadi anak yg sulit mengendalikan amarah, stress bahkan sampai bunuh diri. Sedangkan pelaku bullying akan senantiasa bersikap agresif seperti emosi yang tinggi, iri, egois, dan memiliki empati yang rendah, tidak bisa tersaingi, sulit membangun dan memelihara hubungan baik dengan orang lain, menjadi pelaku bullying dalam keluarga dan bahkan sampai mengarah pada kriminalitas. Pelaku dan korban bullying harus mendapatkan antisipasi penanganan yang serius.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam menangani kasus bullying di sekolah. Cara terbaik menangani korban bullying adalah dengan membuat anak bersikap tenang dan tidak menunjukan rasa marah, takut atau sedih ketika dibully. Tunjukkan sikap percaya diri serta gunakan bahasa tubuh yang positif , Bersikap asertif pada orang yang mem-bully atau berani mengatakan: “saya tidak suka atas apa yang kamu lakukan terhadap saya”, berusaha mencegah tindakan fisik yang dilakukan orang yang mem-bully bukan membalas perilaku dari orang yang membully, melaporkan pada orang dewasa yang dipercaya, pada orang tua, saudara ataupun guru.
Selanjutnya mencari teman yang baik, karena ketika berteman dengan yang baik anak akan terbawa baik sehingga terhindar dari sikap-sikap membully. Orang dewasa sangat berperan penting ikut serta dalam mencegah perilaku-perilaku bullying sejak dini, mulai dari orangtua dalam keluarga, para pendidik di sekolah, masyarakat di lingkungan sekitar anak dan masyarakat pada umumnya. Harus ada orang-orang dan lembaga-lembaga masyarakat yang peduli terhadap kasus ini terutama peduli mencegah dan memberikan pemahaman dan sosialisasi kepada anak-anak kita dan juga kepada masyarakat tentang bahaya bullying dan dampak dari pembiaran bullying.
Melalui paparan ini, diharapkan akan semakin tumbuh kesadaran kita semua pada orang tua dan guru mengenai seriusnya permasalahan bullying / perundungan ini. Ketika anak mengeluhkan bahwa dirinya menjadi korban perundungan, sebaiknya orang tua dan guru mendengarkan keluhan anak dan menanggapinya secara tepat.