Jakarta, visinews.net – Cirendeu, 30 Juni 2022 Departemen Kajian Aksi Strategis BEM FISIP UMJ menyelenggarakan Diskusi Publik secara offline di Auditorium Kasman Singodimedjo, Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Cirendeu, Tangerang Selatan, Kamis (30/06/2022).
Acara tersebut mengangkat tema “Peluang dan Tantangan Pemilu Serentak 2024, Apakah E-voting Menjadi Solusi?” dan mengundangan empat narasumber kompeten, yaitu Pakar Data Science sekaligus Dosen Universitas Islam Indonesia Dr. Ing H. Ridho Rahmadi, S.Kom., M.Sc, Ketua Asosiasi Blockchain Indonesia Asih Karnengsih, M.M., Ketua Asosiasi Indonesia Digital Empowering Communiy (IDIEC) M. Tesar Sandikapura, S.T.,M.T., dan Ketua Program Studi Ilmu Politik Dr. Usni, S.IP, M.Si.
Dalam laporannya, Ketua Pelaksana Acara, Agita Noza Damayanti berharap diskusi tersebut dapat meningkatkan keilmuan peserta dalam mengetahui metode alternatif dalam pemilu.
Kemudian, Ketua Umum BEM FISIP UMJ Muhammad Sualiman menyebut bahwa kegiatan tersebut berangkat dari instrumen evaluasi atas momentum Pemilu 2019 yang banyak memakan korban serta pelaksanaan sistem oleh KPU yang dianggap penuh dengan kecurangan.
“Maka atas dasar itulah, BEM FISIP UMJ mencoba membuka ruang dialektika publik tentang metode e voting berbasis block chain apakah dapat menjawab segala persoalan Pemilu 2019 atau sama saja,” pungkasnya, Kamis (30/06/2022)
Di waktu yang sama, Wakil Dekan III FISIP UMJ Dr. Harmonis, M.Si., berharap bahwa acara tersebut dapat menghasilkan signifikansi akademis dan praktis bagu para peserta.
Diskusi diawali oleh Ketua Asosiasi blockchain Indonesia Asih Karnengsih, M.M yang membahas teknologi blockchain.
Menurutnya, teknologi ini adalah teknologi yang dapat menyimpan atau sebagai bank data yang terkoneksi dengan kriptografi yang cara gunanya tidak lepas dari bitcoin dan cryptocurrency.
“Blockchain juga tidak tergantung pada pusat data atau centralize jadi pencatatan data dilakukan secara seragam, sekali transaksi dan tidak sebaliknya juga sistem ini untuk kerentanan nya terjamin karena hacker harus mampu menguasai 50%+1 jumlah komputer yang terkoneksi dalam block chain jika ingin meretas,” paparnya.
Senada dengan Asih, Ridho Rahmadi menambahkan bahwa e-voting berbasis blockhain dianggap akan proposorsional digunakan sebab akan bersifat transparan dikarenakan enkripsi atas setiap pergerakan di sistem akan tercatat juga. Selain itu, setiap data yang digunakan bersifat mengikat karenanya tidak ada celah untuk dapat dirubah atau dimanipulasi.
“Penggunaan metode ini akan menghemat dana pelaksanaan Pemilu selain itu juga akan mencegah terjadinya korban jiwa,” ujarnya.
Ia berkata, dalam pemilu konvensional rekapitulasi suara memerlukan waktu berminggu-minggu sedangkan block chain memangkas waktu tersebut hanya sekitar satu minggu. Tentunya dengan biaya yang tidak begitu besar seperti pada pemilu konvensional dana tersebut dapat dialokasikan untuk dapat membangun dunia Pendidikan di Indonesia termasuk pembangunan institusi pendidikan seperti Kampus.
Selanjutnya, Tesar menjelaskan bahwa blockchain ini dapat menjadi alternatif dalam melihat fenomena Pemilu di masyarakat Indonesia.
Tesar berpendapat, perlu kiranya metode blockchain diterapkan pada satu daerah terlebih dahulu agar dijadikan jangkauan nantinya. Industri 4.0 menggaungkan aspek digitalisasi namun justru ketika membicarakan mengenai ide ini justru melempam. Beliau juga menyebut bahwa tantangan penggunaan blockchain yaitu pada sektor infrastukstur dan keahlian teknis masyarakat, tingkat kepercayaan terhadap teknologi yang masih rendah, juga pemilihan yang bergantung kepada intenet dan hardware, dan terkhir literasi digital di Indonesia masih kurang serta harus ada regulasi hubungan antara pemilu dan data elektronik Political Agreement UU ITE, data pribadi, dan Cyber Security.
“Harapannya Indonesia dapat beralih dan melakukan integrasi dalam pemilihan umum kedepannya,” tutur Tesar.
Penjelasan terakhir diutarakan oleh Dr. Usni melalui perspektif akademis, bahwa ide tersebut merupakan suatu terobosan dan perlu disepakati bersama untuk dapat menyongsong wajah baru bagi pemilu di Indonesia. Namun ada beberapa hal yang perlu disikapi secara serius yaitu terkait kepercayaan publik atas sistem, penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan data yang akan digunakan.
Usni menambahkan, tantangan e-voting letaknya ada di masyarakat Indonesia karena secara realitas masyarakat Indonesia tidak siap secara literasi digital kemudian disamping itu aspek yang perlu ditekankan pada aspek kejujuran, adil, dan transparan dengan dilandasi oleh regulasi yang jelas tentunya.
“Penggunaan e voting sebagai alternatif dalam pemilu tentu perlu mendapatkan atensi publik untuk didiskusikan, agar bila memang ini adalah gagasan konstruktif alternative dapat menyegarkan pelaksanaan pemilu di Indonesia,” tutupnya.
Diskusi Publik ini pun dihadiri oleh sejumlah kalangan, baik dari mahasiswa maupun masyarakat. Tercatat sejumlah organisasi lintas kampus seperti Universitas Nasional Jakarta, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr Hamka serta Universitas Muhammadiyah Tangerang, dan internal UMJ ikut serta dalam agenda Diskusi Publik tersebut. (NG).