Kelompok muda selalu menjadi sorotan bahkan sejak Indonesia diproklamirkan. Kelompok muda selalu memiliki keberanian untuk melakukan gerakan kreatif pada setiap zamannya.
Namun, perkembangan dunia hari ini, tampaknya membawa pergeseran peran terhadap anak muda. Tidak sedikit kelompok muda yang daya kreativitasnya tidak muncul maksimal.
Hal tersebut disebabkan oleh pola asuh dan akses ruang sosial yang seringkali dibatasi atau kurang dibuka secara terbuka untuk kelompok muda.
Di Kabupaten Bogor contohnya, jarang kita lihat fasilitas publik yang bisa mengakomodir aktivitas anak muda.
Fasilitas olahraga publik yang masih sangat terbatas, perpustakaan daerah yang berjarak dan tidak popular, serta ruang kreatif public yang hampir tidak bisa ditemukan.
Bahkan, bila kita lihat struktur kepengurusan organisasi kepemudaan pun, masih didominasi oleh kelompok tua yang memaksakan diri masuk klaster anak muda.
Sehingga ide dan gagasan dari unsur organisasi kepemudaan pun masih belum bisa terasa menggairahkan untuk Kabupaten Bogor.
Semua kondisi di atas menjadi sebuah masalah yang menggeser kelompok muda pada akhirnya mencari eksistensinya sendiri tanpa difasilitasi dan diarahkan.
Sehingga, potensi kreatif hanya bisa berkembang dikalangan anak muda yang memang sudah mandiri secara karakter.
Sedangkan kelompok kreatif yang masih membutuhkan binaan, dilepas secara liar. Sehingga eksistensi kelompok ini seringkali dinilai kurang baik oleh masyarakat.
Balap motor liar, pendaki gunung dibawah umur, kelompok pecinta seni dan tradisi yang tidak memiliki ruang dan panggung ekspresi, semuanya tidak atau belum terkelola dengan baik di Kabupaten Bogor.
Dalam satu diskusi daring yang diselenggarakan oleh Yayasan Visi Nusantara Maju (VINUS) dengan tema “Konstruksi Kemandirian Kaum Muda”,
Nadia Humaira, yang menjadi salah satu narasumber dari kelompok muda, menyayangkan bahwa peran-peran publik yang bisa dimasuki oleh kelompok muda, masih sangat terbatas.
“Ide anak muda itu kayak belum bisa dipercaya sama kalangan orang tua”, tutur Nadia.
Remaja yang pernah menjadi pengurus Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Malaysia ini menyampaikan bahwa ada semacam pandangan kolot (stereotype) bahwa anak muda hanya bisa menghabiskan waktu yang tidak produktif seperti bermain game atau nongkrong-nongkrong.
Padahal menurutnya, disaat nongkrong pun, kelompok muda bisa lebih mudah untuk menghasilkan uang dengan jasa kreatif yang mereka lakukan melalui media digital.
Sebut saja fotografi kuliner, menjadi dropshipper sebuah produk dagang, menciptakan lagu dan musik untuk dikomersilkan, membuat iklan digital, dan banyak yang lainnya, yang hampir sudah tidak bisa dikerjakan oleh kelompok tua.
Nadia juga mengungkapkan bahwa anak muda dengan gaya sosialnya hari ini, tidak bisa disamakan dengan produk sosial anak muda lama (baca: jaman dulu).
“Anak muda sekarang banyak yang tampilannya cuek, padahal mereka itu banyak yang kreatif dan punya banyak ide yang bisa difasilitasi oleh pemerintah agar bisa maksimal”.
Nadia meminta bahwa porsi anak muda tidak boleh terlalu dibatasi. Mereka harus diberi kepercayaan penuh untuk berkreasi, sehingga kreativitas anak muda bisa menjadi produktif dan memiliki nilai manfaat yang luas untuk masyarakat.