visinews, Cibinong 19/01/2020 – Para aktivis nasional pemilu dan pegiat demokrasi nasional berkumpul hadir dalam sebuah forum diskusi yang bertempat di Kantor Yayasan Visi Nusantara Maju di Cibinong, Kabupaten Bogor. Forum pertemuan ini diberi tema Focus Group Discussion: Amandemen GBHN, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pilkada serentak langsung atau tidak langsung.
Berbagai tokoh aktivis nasional yang hadir dalam forum ini diantaranya Ray Rangkuti (Lingkar Madani), Daniel Zuchron (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi), Toto Sugiarto (Lembaga Studi Visi Nusantara), Kaka Suminta (Komite Independen Pemantau Pemilu), Yusfitriadi (Democracy and Electoral Empowerment Partnership), Arif Nur Alam (Indonesia Budget Center), Alwan (JPPR), Lucius Karus (FORMAPPI), serta beberapa aktivis mahasiswa dan awak media.
Isu utama yang menjadi sorotan pertemuan para aktivis ini adalah tentang gejala otoritarianisme pemerintah yang semakin jelas terlihat dalam berbagai kasus yang terjadi dalam lingkup politik nasional belakangan.
Ray Rangkuti (Lingkar Madani) menyampaikan bahwa ada dugaan upaya pelemahan demokrasi dari unsur pemerintah yang sudah didukung oleh berbagai elemen lain yang berdampak pada menguatnya otoritarianisme regim hari ini.
Ray menambahkan, “ada kekuatan publik yang menjadi tameng utama untuk melakukan pembelaan terhadap presiden dan kelompok pro-presiden yang sangat kontra-produktif”
Dalam paparan yang lain, Jeirry Sumampow (Komite Pemilih Indonesia) mengatakan bahwa gerakan-gerakan yang dilakukan oleh aktivis demokrasi hari ini sudah tidak memiliki soliditas sekuat gerakan pra-reformasi dan hal tersebut patut menjadi pertanyaan. “Ini rekayasa politik atau murni sebagai pergeseran gerakan” ujar Jeirry.
Dia juga menambahkan bahwa adanya fenomena pengkultusan tokoh atau pejabat publik, sehingga ketika seseorang atau kelompok telah memilih tokoh dalam kontestasi pemilu misalnya, maka yang memilih cenderung menjadi kultus dan minus kritik terhadap tokoh atau pejabat pilihannya meskipun telah terlihat jelas adanya indikasi pelanggaran yang dilakukan.
Sedangkan Yusfitriadi (Direktur DEEP) memaparkan bahwa adanya intervensi pemerintah terhadap independensi media yang diarahkan sesuai dengan kepentingan branding kebijakan agar bisa diterima oleh masyarakat. Ditambah, menurutnya, bahwa setiap isu kontra-demokrasi yang telah dibranding dalam opini media, tidak mendapat counter issue dari poros kekuatan sipil independen.
Semua aktivis yang hadir akhirnya bertemu dalam titik kesepakatan bahwa bangsa Indonesia tidak sedang dalam kondisi yang baik-baik saja. Gejala otoritarianisme yang bahkan tercium berpotensi lebih kuat dari orde baru, akhirnya menjadi sebuah kontra-narasi dari cita-cita luhur reformasi 1998. Pengkultusan tokoh dan perlindungan terhadap kelompok tertentu secara kuat dari jerat hukum, adalah indikasi adanya penyelewengan demokrasi.
Adanya sebuah realitas bahwa aktivis NGO demokrasi telah terbelah menjadi beberapa paksi gerakan yang sebagian kecil masih independen, bagian lainnya pragmatis dan bahkan beberapa kelompok telah menjadi bagian (tameng) dari regim yang berkuasa, menjadi dinamika politik Indonesia yang sekaligus akan secara radikal mempengaruhi konstruksi demokrasi Indonesia ke depan. (visinews/PD)
simak video FGD dibawah ini: