Oleh : Asep Saepudin (Sekretaris Pusat Kajian Gender, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Visi Nusantara Maju & Ketua Bidang Dakwah dan Kajian Keagamaan, Pemuda Muhammadiyah Jawa Barat)
BOGOR, VISINEWS.NET – Istilah predator seksual digunakan untuk menggambarkan pengertian yang merendahkan seseorang dilihat dari cara mendapatkan atau berusaha mendapatkan kontak seksual dengan orang lain secara metaforis sebagai “predator”. Analogi dengan bagaimana perburuan predator kepada mangsanya, sehingga predator seksual dianggap “berburu” untuk dirinya. Orang yang melakukan kejahatan seks, seperti pemerkosaan atau pelecehan seksual pada anak sering disebut sebagai predator seksual.
Orang-orang yang dicap sebagai predator seks sangat berbahaya. Mereka sama sekali tidak mudah dideteksi, seolah-olah menyaru dengan manusia yang layaknya berperilaku normal. Tidak ada sesuatu yang menunjukkan bahwa mereka adalah seorang predator seksual. Bahkan tidak jarang kita temui di berita dan media-media informasi lainnya, sang pelaku merupakan orang yang seharusnya sebagai seorang pelindung, yang dihormati dan dihargai karena perannya sebagai orang tua, saudara, bahkan oknum guru atau ustadz yang berkamuflase.
Tabiat asli seorang predator seks baru terlihat ketika sedang bersama korbannya. Di momen tersebutlah biasanya mereka memiliki kontrol penuh menguasai korban. Alhasil, banyak yang mengalami trauma seksual karena menjadi korban dari predator seks. Mereka akan mengalami gangguan emosional, merasa ketakutan setiap hari, hingga kehilangan identitas diri.
Selain itu, ada juga bentuk lain penyimpangan sek yang disebut pedofilia. Pedofilia adalah gangguan seksual yang berupa nafsu seksual terhadap remaja atau anak-anak di bawah usia 14 tahun. Orang yang mengidap pedofilia disebut pedofil. Penting untuk diketahui bahwa pedofilia adalah penyakit.
Pedofilia biasanya terdeteksi oleh diri sendiri setelah masa puber, saat orientasi seksual seseorang terfokus pada anak-anak, bukan orang dewasa. Ia tidak dapat menentukan orientasi seksual mereka dan kemudian merasa takut akan diri mereka sendiri. Mereka juga sering mengalami diskriminasi sosial; sulit bagi mereka untuk terlibat dalam komunitas dan berhubungan dengan orang lain. Ini membuatnya tertarik pada anak-anak karena mereka tergolong masih polos dan tidak menghakimi seperti orang dewasa.
Belakangan ini, para ilmuwan dan masyarakat memiliki kecenderungan untuk mempelajari masalah-masalah psikologis; beberapa pasien lebih terbuka akan penyakit mereka demi ilmu pengetahuan. Menurut para pasien, gejala pedofilia di antaranya perasaan inferior, terisolasi, dan bahkan depresi; mereka takut orientasi seksual mereka diketahui, jadi mereka mengisolasi diri dari orang lain.
Penyimpangan sek berikutnya adalah sodomi. Sodomi adalah pencabulan dengan sesama jenis kelamin, biasanya pelaku laki-laki terhadap korban seorang anak laki-laki pula. Sodomi adalah istilah hukum yang digunakan untuk merujuk kepada tindakan seks tidak alami, yang bergantung pada yuridiksinya dapat terdiri atas seks oral atau seks anal atau semua bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin, baik dilakukan secara heteroseksual, homoseksual, atau antara manusia dan hewan.
Sodomi adalah salah satu bentuk pelecehan seksual yang termasuk ke dalam tindak kejahatan. Dikatakan sebagai kejahatan karena hal ini merugikan korban sodomi, baik secara fisik maupun mental. Biasanya, pelaku sodomi akan melakukan hubungan seksual menggunakan penis dengan anus.
Akibat dari perbuatan sek menyimpang ini tentunya sangat berbahaya bagi si korban. Korban perlakuan sodomi akan mengalami berbagai gangguan fisik maupun mental. Di antara bahaya tersebut adalah infeksi pada anus korban sodomi. Rasa nyeri yang berdenyut dan konstan di daerah anus mungkin merupakan salah satu gejala infeksi anus yang paling umum dirasakan.Selain rasa sakit, biasanya akan disertai dengan pembengkakan di daerah anus dan rasa sakit yang lebih hebat saat buang air besar. Diantara tanda-tanda terjadi infeksi pada anus yaitu sembelit, keluar cairan atau darah, terjadi pembengkakan dan rasa demam yang menggigil karena adanya infeksi.
Selain itu, dikutip dari Detik Health, dr. Ari Fahrial Syam, SpPD, KGEH, MMB, dari Divisi Gastroenterologi, Departemen Penyakit Dalam FKUI-RSCM, mengatakan bahwa sodomi bisa menyebabkan inkontinensia alvi.
Inkontinensia alvi adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak lagi dapat mengontrol kapan harus buang air besar. Bagi orang normal, buang air besar terjadi secara lazim, tetapi bagi orang dengan inkontinensia alvi, terkadang terjadi kebocoran yang menyebabkan mereka buang air besar di tengah malam tanpa bisa ditahan. Selain itu juga akan terjadi inveksi yang menular. Infeksi menular seksual yang terjadi ketika melakukan seks anal salah satunya adalah proctitis.
Proctitis adalah peradangan pada lubang anus dan lapisan rektum (bagian bawah usus yang menuju ke anus). Rektum adalah saluran berotot yang tersambung dengan ujung usus besar. Feses keluar dari tubuh melalui rektum. Proctitis dapat menyebabkan nyeri pada rektum dan sensasi seperti ingin buang air besar secara terus-menerus. Gejala proctitis dapat berlangsung sebentar ataupun kronis alias menahun.
Sodomi merupakan kekerasan seksual yang juga dapat menyebabkan trauma dan rasa malu mendalam pada korban. Pelecehan seksual yang kasusnya kebanyakan menimpa usia kanak-kanak dan remaja ini dapat membawa dampak jangka panjang, bahkan seumur hidup, pada korban.
Terkadang, orang yang pernah mengalami pelecehan seksual di masa kanak-kanak atau remaja sulit untuk mencari bantuan dan mengungkapkan kejahatan seks yang mereka terima. Rasa malu dan minimnya bantuan inilah yang kadang bisa membuat korban jadi trauma, mengalami gangguan kecemasan, dan depresi seumur hidup.
Selain itu, masih menurut laman Detik Health, seorang psikiater, dr. Elly Ingkriwang, Sp.Kj, menyatakan bahwa korban bisa menjadi penerus pelaku sodomi. Dr. Elly mengatakan bahwa mungkin saja ada sensasi rasa senang yang menyebabkan ketagihan saat melakukan seks anal sehingga korban akan mengulanginya.
Adanya rasa dendam juga bisa menjadi salah satu faktor mengapa korban sodomi tetap ada. Tak ayal, ini disebabkan karena korban hendak membalas dendam pada orang lain. Rasa dendam masa lalu yang tidak tersalurkan dan dipendam sendirian, lama-kelamaan akan memuncak. Inilah yang menurut dr. Elly bisa membuat seseorang yang tadinya korban menjadi pelaku sodomi. Korban ingin tidak hanya dirinya saja yang pernah disodomi, itu sebabnya ia akan melakukannya pada orang lain agar ada yang senasib.
(Ref: Berbagai sumber).